Resiliensi Adalah Energi Dua Arah
Vidi Aziz | Wednesday, 17 May 2023
Di pertemuan internal para konsultan Headhunter Indonesia minggu lalu, kami membahas topik yang menarik, yaitu tentang resiliensi. Pertanyaan yang muncul dari kolega saya, Rochmah Sri Lestari, adalah tentang mengapa banyak persepsi yang muncul bahwa Generasi Z adalah generasi yang resiliensinya rendah. Apakah ini fakta?
Tari adalah salah satu konsultan di Headhunter Indonesia yang merupakan bagian dari generasi Z. Sebagai bagian dari Gen Z, Tari sangat familiar dengan persepsi ini dan tidak sepenuhnya setuju karena faktanya, banyak teman-teman seusianya yang memiliki daya juang yang baik, tidak hanya di kehidupan pribadi tetapi juga di dunia profesional.
Atasan saya, Pak Haryo Suryosumarto, memberikan pendapat menarik tentang konsep resiliensi. Menurutnya, karyawan, apapun generasinya, harus memiliki resiliensi yang baik agar tidak mudah goyah jika mengalami kegagalan atau tantangan berat. Tetapi, harus diingat, tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada perusahaan di luar sana yang memiliki budaya kerja yang tidak sehat sehingga membuat karyawannya, yang awalnya memiliki resiliensi tinggi, akhirnya memutuskan untuk keluar.
Saya mau membagikan pengalaman kandidat yang saya tempatkan di perusahaan klien berkaitan dengan topik ini.
Beberapa bulan pertama, kandidat saya betah dengan perusahaan klien saya karena budaya perusahaan yang baik. Masuk di bulan ke 6, sedihnya, pemimpin perusahaan tersebut—yang merupakan atasan langsung dari kandidat saya—tutup usia karena sakit. Selanjutnya, nahkoda kepemimpinan perusahaan diserahkan ke beberapa anak beliau; yang sebenarnya masih belum matang untuk menggerakan sebuah perusahaan. Akibatnya, secara perlahan-lahan, budaya perusahaan berubah menjadi tidak sehat.
Kandidat saya adalah pribadi yang memiliki resiliensi tinggi. Ini terbukti dari prestasi beliau dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di perusahaan sebelumnya. Tetapi, tingkat resiliensinya memiliki batas maksimum.
Setelah bekerja satu tahun bekerja di perusahaan tersebut, beliau memutuskan untuk keluar karena sudah tidak bisa mentolerir budaya kerja yang tidak sehat di sana. Satu minggu sebelum kandidat saya memutuskan untuk keluar, dia menghubungi saya, “Pak Vidi, saya pikir saya sudah cukup ‘tough’ untuk bertahan di situasi seperti ini selama satu tahun. Batas daya juang saya sudah maksimum dan saya yakin saya bisa berkontribusi di perusahaan lain dengan budaya kerja yang lebih sehat.”
Berkaca dari hasil diskusi tersebut dan pengalaman kandidat saya, saya percaya bahwa resiliensi adalah energi dua arah. Kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk terus memiliki resiliensi yang tinggi tetapi tetap membiarkan terciptanya budaya perusahaan toksik secara subur.