Leadership

Afrina Karenina Rizal | Tuesday, 25 October 2022

Beberapa saat lalu saya membaca sebuah artikel mengenai selebriti yang sangat sukses, namun secara sadar dan tidak sadar menciptakan toxic workplace untuk karyawannya. Yang termasuk dalam artikel tersebut selebriti seperti Beyonce, Rihanna dan Ellen Degeneres.

Siapa yang tidak kenal Ellen DeGeneres, seorang komika berkebangsaan Amerika Serikat yang terkenal dengan acara TV-nya The Ellen Show. Ellen juga berhasil mendapatkan penghargaan the Presidential Medal of Freedom dari Presiden AS Barrack Obama.

Di depan kamera, Ellen terkenal baik, ramah dan dermawan. Namun beberapa saat lalu muncul berita bahwa di belakang kamera sering mengintimidasi dan mem-bully karyawannya. Selain itu lingkungan kerjanya sering dilabeli dengan rasis dan toxic.

Lalu saya bertanya-tanya, apakah untuk mencapai kesuksesan harus dengan menekan bawahannya? Apakah ada perbedaan treatment jika atasan adalah seorang public figure atau jika atasan kita adalah true businessman?

Di saat yang sama saya juga sedang membaca buku 100 Great Business Leaders. Dan saya mulai membandingkan selebritis tersebut dengan leader seperti Jeff Bezos (Founder Amazon) dan Dhanin Chearavanont (Founder Charoen Pokphand Group).

Jeff Bezos pernah mengatakan “We are comfortable planting seeds and waiting for them to grow into trees”. Sangat anti-mainstream khususnya saat leader di seluruh dunia sangat terburu-buru mengembangkan bisnisnya apalagi dengan budaya start-up seperti sekarang. Dengan target yang terburu-buru apakah work life balance dan mental health karyawan tetap bisa terjamin? Satu hal lagi yang menarik dari Jeff Bezos. Mereka selalu menempatkan 1 kursi kosong di ruang meeting mereka untuk mewakili customer – the most important person in the room.

Dhanin Chearavanont mempunyai karakteristik yang cukup menggelitik saya. CP menyebutnya “Three Benefits” philosophy, dimanapun CP beroperasi, aktivitasnya harus menguntungkan negara, masyarakat dan perusahaannya sendiri. Nilai-nilai seperti ini yang jujur jarang saya dengar dari pengusaha yang sering saya temui. Ada nilai lebih, bukan hanya tentang “saya dan saya”.

Saya pikir tidak semua leader itu sempurna, selalu ada celah untuk berkembang. Dan yang sebaiknya selalu disadari oleh leader adalah banyak karyawan resign karena tidak cocok dengan atasannya. Belajar menjadi leader yang bijaksana tidak pernah akan usai karena dinamika selalu berubah-berubah setiap saat.

Sebagai karyawan, mungkin rekan-rekan juga memiliki atasan yang unik, atau yang baik, atau yang suka ngomel, atau yang cuek, dengan berbagai macam karakternya. Beruntung sekali jika memiliki atasan yang baik dan sabar, tolong jangan disia-siakan. :D

Namun jika kebetulan menemui leader yang tidak bersahabat, selalu ada sisi lain dari leader tersebut. Jangan ragu untuk terus membangun komunikasi, karena siapa tahu itu hanya asumsi. Jangan lupa juga untuk mencoba mengenai calon leader saat proses recruitment, sehingga tidak menyesal di kemudian hari.

Semoga bermanfaat.